Seorang Sosiolog yang juga termasuk Bapak sosiologi adalah Emile Durkheim, dia dilahirkan di Epinal, Prancis, yang terletak di Lorraine pada tanggal 15 April 1858. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh, terbukti akan ayah dan kakeknya adalah pendeta Yahudi (rabbi). Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekuler. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan Ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya serta mayoritas mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih punya hubungan darah dengannya hingga membentuk sosiologi Durkheim.
Perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk -yang seiring dengan kenaikan pendapatan serta merta memperbesar pasaran konsumen domestik- dan makin terjadi proses konsentrasi modal, yang salah satu akibatnya ialah ‘imperialisasi modern’, merupakan beberapa peristiwa sosial ekonomi yang penting. Semua ini bukan saja menimbulkan dinamika interen, melainkan yang lebih penting lagi mengubah pula tatanan sosial. Tentu saja yang paling menonjol adalah makin pentingnya dampak politik dari kaum pekerja atau buruh, yang selama ini harus menderita akibat dari sistem kapitalisme[1].
Begitulah situasi sosial-politik dan ekonomi yang dialami Emile Durkheim pada waktu itu. Tetapi walau dia adalah penganut ‘sosiologisme’ yang kokoh (dalam arti bahwa bagi mereka masyarakat adalah suatu realitas yang sui generis) Durkheim tidak melihat revolusi sebagai cara yang bisa menghapus kapitalisme. Dia sangsi bahwa revolusi adalah cara pemecahan yang tepat dalam mengatasi masalah sosial yang sedang timbul. Ia beranggapan bahwa masyarakat memerlukan peneguhan dasar moralitas yang baru. Jadi konsesnsus yang menjadi tiang segalanya.
Durkheim menyadari akan dirinya sebagai cendekiawan yang ‘sadar dan insyaf’ akan fungsinya, bahwa dia adalah patriot sejati. Tanpa tanggung-tanggung dia meluluhkan dirinya dalam memperkuat keyakinan patriotisme Prancis ketika menghadapi Perang Dunia I. Dalam perang ini pula ia kehilangan anak satu-satunya, Andre, yang diharapkan bisa mempunyai karier ilmiah yang gemilang.
Dari tinjauan sekilas ini bisa dimengerti mengapa perhatian Durkheim ada masalah konsensus dan moralitas tak pernah pudar. Bukan saja krisis-krisis politik yang melanda Prancis dalam periode Republik Ketiga, dan terjadinya pergeseran sosial, yang menggugah kemantapan yang lama, sebagai akibat industrialisasi dan kapitalisme, melainkan keterlibatan langsung Durkheim dalam berbagai maslah sosail yang dihadapi Prancis juga ikut memainkan peranan. Dalam keterlibatan ini dia bukan saja menghirup tradisi filisofis dan akademis yang telah berakar lama, melainkan juga secara kreatif mempertentangkannya dengan realitas sosial dan hasrat normatifnya. Demikianlah disampin guru-gurunya di Ecole Normale yang telah memperkenalkannya dengan tradisi intelektual Prancis, mulai dari Descartes sampai pada tradisi pemikiran Aufklarung (masa pencerahan), khususnya Montesquieu dan Rousseau, kemudian juga Saint Simon dan Auguste Comte. Kunjungannya ke Jerman menyebabkan dirinya lebih akrab mengenal perkembangan filsafat Jerman.
Dalam kunjungan ini pula dia makin mengenal Immanuel Kant. Pemikirannya mengenai moralitas didewsakan oleh perkenalannya dengan kara Kant. Dalam menghadapi berbagai masalah Durkheim juga mengadakan dialog yang cukup keras dengan para pemikir-pemikir Inggris. Dalam berdialog (tidak dalam arti harfiah) dia tidak hanya menolak dengan tegas kecenderungan individualistis Herbert Spencer, yang hanya elhat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu, melainkan juga makin mempertajam kecenderungan sosiologistisnya. Sementara itu pula idealisme Jermannya dipertemukannya dengan kecenderungan empiristis Inggris. Begitulah, sebagaimana telah diperlihatkan sebagai studi, pada Durkheim tergabung tradisi idealisme Jerman, empirisme Inggris, dan nasionalisme dari Masa Pencerahan Prancis. Dengan demikian ia merumuskan tujuannya yang fundamental, yaitu “melanjutkn rasionalisme ilmiah pada tingkah laku manusia”.
Dalam kunjungan ini pula dia makin mengenal Immanuel Kant. Pemikirannya mengenai moralitas didewsakan oleh perkenalannya dengan kara Kant. Dalam menghadapi berbagai masalah Durkheim juga mengadakan dialog yang cukup keras dengan para pemikir-pemikir Inggris. Dalam berdialog (tidak dalam arti harfiah) dia tidak hanya menolak dengan tegas kecenderungan individualistis Herbert Spencer, yang hanya elhat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu, melainkan juga makin mempertajam kecenderungan sosiologistisnya. Sementara itu pula idealisme Jermannya dipertemukannya dengan kecenderungan empiristis Inggris. Begitulah, sebagaimana telah diperlihatkan sebagai studi, pada Durkheim tergabung tradisi idealisme Jerman, empirisme Inggris, dan nasionalisme dari Masa Pencerahan Prancis. Dengan demikian ia merumuskan tujuannya yang fundamental, yaitu “melanjutkn rasionalisme ilmiah pada tingkah laku manusia”.
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Durkheim, seperti disaat ‘Peristiwa Dreyfus’[2], kerja tanpa henti. Dia menulis karangan-karangan yang patriotik dan membuat studi tentang ‘Karakter Bangsa Jerman’. Tetapi kematian anaknya merupakan pukulan besar baginya. Pada tahun 1916 ia mulai sakit-sakitan. Selama itu pula ia mulai menyusun tulisan-tulisannya yang berupa munuskrip secara lebih teratur. Hal ini yang memungkinkan para muridnya kemudian dapat menerbitkan tulisan-tulisan itu. Pada tanggal 15 November 1917, setahun sebelum genjatan senjata, ketika ia hampir berusia 60 tahun Durkheim si calon rabbi, yang kemudian menjadi pelopor sosiologi yang etis, meninggal dunia di Fontaineblau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar